Bagaimana Sih Membaca dan Menulis Dalam Al qur'an ? ya, ini lah pertanyaan yang akan saya coba jawab melalui sebuah artikel yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi anda semua, terutama dalam hal menulis.
“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah,ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu.Tanpanya, agama tidak akan berdiri,kehidupan menjadi tidak terarah...”(Dari perkataan Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî, 2002)
Dalam berbagai kesempatan, kita sering menemukan banyak orang yang membicarakan tentang pendidikan. Membandingkan sistem pendidikan di Indonesia dengan negara-negara tetangga. Kemudian memposisikan Indonesia sebagai negara yang terbelakang dalam pendidikan. Hal ini tidak hanya sekedar wacana, tapi sudah menjadi hasil analisis oleh lembaga pendidikan nasional dan internasional.
Kejadian di atas adalah gambaran umum keadaan pendidikan di Indonesia. Jika kita ulur ke daerah Banten, maka, kita juga akan mendapatkan wacana yang sama tentang pendidikan di Banten; tertinggal, sarana yang belum memadai, bangunan fisik yang masih perlu perbaikan, dan lain sebagainya.
Banyak faktor yang menyebabkan pendidikan di Indonesia menjadi terbelakang, dalam tulisan ini akan disinggung salah satu di antaranya. Dalam banyak momentum sering dibicarakan bahwa, kelemahan yang semakin akut dalam pendidikan di Indonesia disebabkan –salah satunya-- oleh kurangnya kesadaran membaca dan menulis dalam masyarakat. Bahkan, hal ini sempat menjadi bahan selorokan di Jepang, bahwa untuk membedakan orang Jepang dan orang Indonesia di sana sangatlah mudah, cukup dengan melihat apakah dia membaca buku ketika menunggu mobil atau justru mengobrol. Tentu dengan asumsi bahwa yang mengobrol adalah orang Indonesia.
Faktor kelemahan ini --membaca dan menulis-- juga disinggung oleh Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, A. Chaidar Alwasilah dalam artikelnya "Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan" (Pikiran Rakyat, 12 Januari 2005). Ia menuliskan bahwa, merosotnya perguruan tinggi kita disebabkan lantaran minimnya citations. Citations atau jumlah karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia adalah salah satu alat ukur, di antara lima alat ukur, untuk menetapkan kehebatan sebuah perguruan tinggi. Keempat alat ukur lainnya adalah: penilaian oleh sejawat, jumlah dosen asing, jumlah mahasiswa asing, dan rasio dosen-mahasiswa.
Menurut Chaidar, melalui kelima alat ukur tersebut, The Times Higher Education Supplement, menetapkan 200 perguruan tinggi terhebat di dunia pada tahun 2004. Dan, yang menyedihkan, perguruan tinggi di Indonesia tampaknya tidak ada yang masuk dalam 200 besar, hanya beberapa perguruan tinggi tetangga yang masuk seperti, National University of Singapore (peringkat ke-18), Nanyang University (ke-50), Malaya Univeristy (ke-89), dan Sains Malaya University (ke-111).
Selain Chaidar, masih banyak penggiat-penggiat pendidikan yang juga berasumsi bahwa kelemahan pendidikan di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kesadaran membaca dan menulis. Sebut saja misalnya, Hernowo, penulis buku ‘Mengikat Makna’ ini mengungkapkan perlunya paradigma baru dalam membaca dan menulis untuk kalangan akademisi di kampus.
Dalam artikelnya “Brain Based Writing” (Pikiran Rakyat, 29 Januari 2005) Hernowo beranggapan, ada kemungkinan, selama ini kegiatan membaca dan menulis sudah kadung menjadi beban (bagi pendidik sekaligus yang dididik). Maka, untuk mengusir beban tersebut, perlu ada perubahan cara berpikir para akademisi di kampus tentang kegiatan membaca dan menulis.
Dalam berbagai disiplin ilmu, dokumentasi dalam bentuk tulisan; makalah, artikel, essay, adalah suatu kegiatan yang harus terus berjalan, meskipun dalam praktek, masih banyak akademisi yang tidak yakin dengan kemampuannya, dan akhirnya mengkopi tulisan orang lain. Ini juga bisa diyakini sebagai salah satu gejala kekurangsadaran dalam menulis. Dalam tataran agama Islam, kita banyak menemukan buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu yang ditulis oleh orang Islam terdahulu.
Dalam sejarah tercatat bahwa kejayaan Islam pernah teraih melalui budaya baca-tulis. Bahkan Muhammad, nabi akhir zaman, mendapatkan wahyu pertama yang berbias perintah untuk membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bi al-qalam).
Surat al-‘Alaq yang disepakati oleh para ulama sebagai wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad, memiliki tiga cakupan yang sangat prinsipil: pertama; menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bi al-qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya yang lain. Kedua; menjelaskan tentang ketamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya terhadap dunia, ketiga; mengkisahkan tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi. (Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Jilid 7, 1991).
Wahbah Zuhaili juga menggambarkan bahwa nilai normatif yang ada pada wahyu pertama ini, lebih mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Melalui wahyu pertama, Tuhan memberikan mukjizat kepada Nabi yang dikenal buta huruf, hal ini sebagai pertanda bahwa Tuhan menganugerahkan kepada manusia ‘akal’ yang menjadikan manusia lebih bernilai dibanding makhluk-Nya yang lain.
Perintah baca (iqra’) kepada orang yang buta huruf seperti Muhammad tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan. Tapi, justru hal ini menggambarkan bahwa Tuhan mengantarkan manusia dari dunia ‘gelap’ menuju dunia ‘cerah’ melalui budaya membaca dan menulis.
Dalam wahyu pertama itu, Tuhan menyebutkan kata iqra’ (baca) pada awal surat, kemudian dikaitkan dengan kalimat selanjutnya bismi rabbika al-ladzî khalaq (dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan). Kemudian Tuhan menyandingkan kata iqra’ (baca) dengan kata ‘allama bi al-qalam (yang mengajari dengan qalam [menulis]). Dalam pandangan Wahbah, sandingan ini memiliki kekuatan yang sangat penting bagi manusia, bahwa Tuhan, selain memerintah untuk membaca, juga memerintah untuk menulis. Bahkan Abdullah bin ‘Amru, seorang ulama salaf mengungkapkan “qayyidû al-ilma bi al-kitâbah” (ikatlah ilmu dengan menulisnya).
Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Islam sejak awal sudah menyerukan kepada manusia untuk membaca dan menulis, sebab wahyu Tuhan pun tidak bisa diterima tanpa dibaca terlebih dahulu, dan ia tak akan bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya jika tidak ada dokumentasi dalam bentuk tulisan.
Al-Qurthûbî dalam kitabnya al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân mengungkapkan, pada awalnya orang Arab terkenal dengan sikapnya yang kurang santun (brengsek); berwawasan sempit, Qurtûbi kemudian melanjutkan bahwa, wahyu Tuhan yang pertama (surat al-‘Alaq) adalah mukjizat bagi Muhammad; yakni sebagai media untuk mengangkat Muhammad dari lembah kebodohan menuju lembah cahaya.
Membaca dan menulis adalah media untuk mengantarkan manusia menuju perbaikan. Maka, tidak berlebihan jika Qotâdah, seorang ulama salaf menyatakan: “Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” (Tafsîr al-Qurthûbî, 2002).
Jika semangat mengajak membaca dan menulis sudah ada sejak awal datangnya Islam, dan mempunyai posisi yang sangat prinsipil dalam perkembangan Islam, maka, kebudayaan baca-tulis di Indonesia –yang notebene mayoritas Islam-- setidaknya bisa diwujudkan dalam wajahnya yang baru. Saat ini, budaya tulis-baca sudah mulai semarak digiatkan oleh para pecinta buku. Banyaknya perlombaan menulis yang diadakan oleh instansi swasta dan pemerintah menjadi semacam daya tarik tersendiri dalam budaya tulis baca.
Mari kita budayakan kegiatan Tulis Baca dalam kehidupan ini .
Referensi :http://edihudiata.multiply.com
No comments:
Post a Comment
Silahkan Budayakan Berkomentar Setelah Membaca Artikel Dengan Baik dan Sopan.
Ttd : Berry Hardisakha